Kebahagiaan tidak lain adalah limpahan karunia Ilahi, bukan
merupakan sebuah hasil usaha semata. Seperti masuknya hamba-hamba yang
sholeh kedalam syurga bukan dikarenakan amalan mereka semata yang
-sebut saja tidak terhitung jumlahnya menurut ukuran manusia- melainkan
karena rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sudut pandang ikhtiar atau usaha,
Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa manusia diberikan kebebasan memilih,
jalan kebahagiaan atau kesengsaraan. Tapi tetap seluruh usaha manusia
-mau tidak mau- terikat dalam sebuah ketetapan pasti yaitu takdir
Alloh.
Takdir adalah hak mutlak milik Allah. Manusia hanya memiliki hak
menebar usaha, melakukan amalan, berikhtiar dan bekerja. Kita harus
mengimani takdir apapun yang terjadi. Namun dalam nuansa ikhtiar kita
harus tetap berusaha, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.
Ada dua kata kunci disini: takdir dan usaha. Keduanya tidak bisa
terpisahkan. Dan keduanya, bisa menjadi pemicu terwujudnya gelombang
kebahagiaan.
Pertama, takdir. Dengan meyakini takdir, seorang muslimah akan
memiliki ketabahan, terutama di saat harus menerima dera musibah secara
bertubi-tubi atau di saat menghadapi ancaman terhadap ketentraman
hidupnya.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلاَ فِيَ أَنفُسِكُمْ إِلاّ
فِي كِتَابٍ مّن قَبْلِ أَن نّبْرَأَهَآ إِنّ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرٌ
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
Ketabahan itulah, yang akan menjadi pemicu kebahagiaan. Karena
ketabahan itu muncul melalui proses keimanan yang bertarung melawan
bujuk rayu nafsu, melawan tekanan keadaan, untuk kemudian keluar
sebagai pemenang, mendulang karunia petunjuk Allah.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ إِلاّ بِإِذْنِ اللّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللّهُ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya
Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu…” (Ath Thaghabun: 11)
Hati yang mendapatkan petunjuk, niscaya memancarkan cahaya pasrah,
menyingkirkan nafsu amarah, menepis rasa kesal dan kecewa sehingga
lahirlah kebahagiaan itu.
Di sisi lain, keyakinan kepada takdir, menyeruakkan nuansa kesegaran
berpikir, karena dasar keyakinan bahwa Allah akan memberikan pahala,
bagi orang-orang yang tabah dan sabar.
وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُواْ جَنّةً وَحَرِيراً
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena ketabahan mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera…” (Al Insan: 12)
Kedua, adalah usaha yaitu usaha yang baik atau amal sholeh yang
dilakukan seorang mukmin, memiliki nilai sakral. Berkaitan dengan
kandungan ruh keikhlasan dan kekuatan dan kekuatan peneladanan terhadap
manusia terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang terdapat
di dalamnya. Dua kandungan itu, bagaikan nyawa dan kekuatan. Membuat
usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin berpengaruh impresif, menekan
jauh ke lubuk jiwa, melakukan kepuasan yang tiada tara. Tidak peduli,
apakah usaha itu -pada akhirnya- menampakkan hasil, atau terjatuh pada
lubang-lubang kegagalan. Dalam konteks ini, usaha apa pun yang
dilakukan oleh seorang muslim tak lepas dari bingkai ibadah, atau
penghambaan diri kepada Allah. Semakin hebat usaha yang dilakukan,
semakin meningkat kualitas kehambaannya.
Sebagai contohnya, ibadah sholat diyakini mampu menjadi media penyejuk hati, bila dilakukan dengan khusu‘ dan dibarengi dengan kesabaran jiwa…
يَآأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ إِنّ اللّهَ مَعَ الصّابِرِينَِ
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqoroh: 153)
Dari pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan sebuah fenomena yang
cukup menarik. Kebahagiaan itu lebih sering muncul, setiap kali seorang
muslim selesai melakukan pekerjaannya. Disebut dengan kata lebih sering
muncul, karena selesai atau tidak suatu pekerjaan, berhasil atau tidak
suatu usaha, tidak akan mempengaruhi kebahagiaan yang bakal didapat
oleh seorang muslim. Di saat gagal berusaha, seorang mukmin tetaplah
berbahagia, karena pengaruh mutiara ketabahan yang tertanam kuat dalam
jiwanya. Di saat berhasil, ia akan memperoleh kebahagiaan lebih, karena
rasa syukurnya. Itulah keajaiban seorang mukmin!
“Sungguh ajaib sikap seorang mukmin! Karena segala sesuatunya
baik baik baginya. Hal itu hanya berlaku bagi seorang mukmin saja.
Apabila ia mendapatak kesenanagan, ia bersyukur. Itu menjadi kebaikan
baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun
menjadi kebaikan baginya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999)
Sekali lagi, kebahagiaan itu lebih mudah dirasakan oleh seorang
muslim ketika usaii menyelesaikan pekerjaannya. Adapun rasa syukur yang
ia ungkapkan, menjadikannya nilaii lebih. Meskipun secara umum, rasa
syukur itu lebih mudah dilakukan, daripada ketabahan dii saat terjadi
musibah. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shohihnya I: 430)
Rasa syukur akan memberikan nilai lebih, terhadap penyegaran hati
dan penentraman jiwa. Dari situlah, sebuah karunia akan semakin terasa
kenikmatannya.
Sebagaimana realitas kehidupan, kebahagiaan biasa hadir di saat
seorang hamba mengakhiri ibadah puasanya selepas maghrib. Kehadirannya
bagaikan kebahagiaan utama yang luar biasa nikmatnya.
“Orang yang melaksanakan ibadah puasa, memiliki dua kebahagiaan,
yang pasti akan dirasakannya: Saat berbuka, ia berbahagia karena
selesai berpuasa. Saat berjumpa dengan Allah, ia berbahagia, karena
ibadah puasanya.” (Diriwayatkan oleh Al Bukari II: 673, oleh Muslim II: 807 dan At Tirmidzy III: 137)
Kebahagiaan yang didapatkan oleh seorang muslim lebih bersifat nyata
dan pasti, karena merupakan dua senyawa yang terkait antara satu dengan
lain. Yaitu takdir Allah dan usaha manusia dengan cara yang benar dan
ikhlas. Sementara bagi orang yang tidak beriman, kebahagiaan hanyalah
merupakan ‘letupan’ sesaat, tatkala menemukan hal-hal yang disukainya,
atau terlepas dari beban yang menghimpitnya. Nilainya pun hanyalah
sesaat, karena tidak memiliki ruh keikhlasan dan kekuatan.
Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun ’sejuta manusia’ menggapai langit dan menggali bumi, demi kebahagiaan sejati.
Keyakinan terhadap takdir, menjunjung manusia ke arah ketabahan, kepasrahan dan keteduhan hati.
Keihlasan, bak mutiara terpendam, menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhoan ilahi.
Peneladanan terhadapmu, wahai Nabiku, seringkali menggeser segala
kesukaan kami terhadap segenap penghuni bumi. Itulah sebabnya,
kehambaan kami bertahan hingga kini.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan takdirmu, niscaya keabadian menghampirimu dengan segala keindahannya.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan keislamanmu, niscaya surga dunia, juga surga akherat, berkenan menyambutmu…
Sumber : http://muslimah.or.id/nasihat-untuk-muslimah/kebahagiaan-adalah-anugrah.html
No comments :
Post a Comment