Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan, sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.
Asal-usul
dan fungsi
Asal-usul keris belum sepenuhnya
terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari
masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah
tercantum pada prasasti
dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan
didasarkan pada analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat
dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Awal mula: Pengaruh India-Tiongkok
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh India, khususnya Siwaisme. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit, dan keris sombro. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk (lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris. Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
Prototipe keris dari masa pra-Majapahit
Karya-karya ukir dari milenium pertama penanggalan Masehi kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk senjata tikam dan "wesi aji" lainnya dari India. Meskipun demikian diketahui terdapat satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris.Dari abad yang sama, prasasti Karangtengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan. Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Keris pusaka Knaud, salah satu contoh keris Buda
Relief rendah di Candi Penataran, Blitar. Perhatikan
bagian hulu senjata yang tidak simetris dan bilah yang langsung menunjukkan
ciri keris modern
Kajian ikonografi bangunan dan gaya ukiran di masa Kadiri-Singasari (abad ke-13 sampai ke-14) menunjukkan kecenderungan pemribumian dari murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali dengan bentuk keris. Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-14 awal) memegang "wesi aji" yang mirip keris, berbeda dari penggambaran masa sebelumnya. Salah satu relief rendah (bas-relief) di dinding Candi Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris. Candi Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 M) dari masa akhir Kerajaan Kadiri di Blitar, Jawa Timur.
Keris Modern
Belati tikam dan keris koleksi istana Pagarruyung.
Belati tikam telah dikenal dari milenium pertama di Nusantara.
... . Orang-orang ini [Majapahit] selalu
mengenakan pu-la-t'ou yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang
terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada
daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir berbentuk
manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus dan rajin.
— Ma Huan, "Ying-yai Sheng-lan
Fai"
Catatan Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan "belati" (pu-la-t'ou) yang diselipkan pada ikat pinggang. Terdapat deskripsi yang menunjukkan bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan pamor telah berkembang baik. Tome Pires, penjelajah Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.
Berita-berita Portugis dan Prancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau gading di berbagai tempat di Nusantara.
... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya
atau miskin, harus memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu
pun laki-laki berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di
sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...
— Tome Pires, "Suma
Oriental"
Perkembangan Fungsi Keris
Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk berbeda, dengan pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.
Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode Demak–Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya keris Nagasasra Sabukinten.
Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya Kesultanan Aceh). Godinho de Heredia dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris dengan batu permata.
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19 dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara dan menguatnya penggunaan senjata api. Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup[13][14]. Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan wujud penghalusan fungsi keris.
Berbagai cara mengenakan keris berdasarkan Kebudayaan
Jawa
Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah dhuwung, bersama-sama dengan tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (ageman) yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris menjadi identitas kemelayuan.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.
Bahan, Pembuatan, dan Perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris adalah besi dan baja. Untuk membuatnya ringan para empu selalu mencampur bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai campuran nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki campuran batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi, di samping nikel, kobal, perak, timah putih, kromium, antimonium, dan tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di kompleks percandian Prambanan.Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara ringkas menurut salah satu pustaka. Bilah besi sebagai bahan dasar diwasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya karbon serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang, campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan, dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan mempengaruhi pamor yang muncul nantinya. Proses ini disebut saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua kodhokan seperti roti sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk pesi, bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan kikir, gerinda, serta bor, sesuai dengan dhapur keris yang akan dibuat. Silak waja dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk. Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan dengan diameter pesi. Tahap terakhir, yaitu nyepuhi, dilakukan agar keris tampak tua. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini. Nyepuhi ("menuakan") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran belerang, garam, dan perasan jeruk nipis (disebut kamalan). Nyepuhi juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung empu yang membuat). TIndakan nyepuhi harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat keris retak.
Pemberian warangan dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya. Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada bulan Muharram/Sura, meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah "memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang minyak pewangi lama dan karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah kelapa, hancuran buah mengkudu, atau perasan jeruk nipis). Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini secara tradisional menggunakan minyak melati atau minyak cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.
Morfologi
Keris atau dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (wilah atau daun keris), ganja ("penopang"), dan hulu keris (ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah. Ganja tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau warangka.Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (dhapur) atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris adalah kelokan (luk), ornamen (ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.
Pengaruh waktu mempengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.
Pegangan keris atau hulu keris
Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu mirah delima.
Pegangan keris Sulawesi
menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi
masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang
dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada
keris Riau
Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji
seperti Aceh,
Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu,
Jawa, Madura
dan Sulu,
keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang
dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan
yang paling banyak yaitu kayu.
Untuk pegangan keris
Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian
belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng
dan bungkul.
- Warangka atau sarung keris
Secara garis besar
terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri
dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong
(berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis
lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya
hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong,
dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk
wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak mutlak. Wrangka ladrang dipakai
untuk upacara resmi , misalkan menghadap raja, acara resmi keraton lainnya
(penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud
penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di
lipatan sabuk (stagen) pada pinggang
bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ).
Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan
pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun di belakang (pinggang belakang).
Dalam perang,
yang digunakan adalah keris wrangka gayaman , pertimbangannya adalah dari sisi
praktis dan ringkas, karena wrangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak,
karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman
merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama menurut fungsi wrangka adalah
bagian bawah yang berbentuk panjang ( sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar
atau antupan ,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah)
dan biasanya terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang
berbahan logam campuran ) .
Karena fungsi gandar
untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk
memperindahnya akan dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok
. Bagian pendok ( lapisan
selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah , dibuat dari logam
kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak, emas . Untuk daerah diluar
Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa,
Palembang,
Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan hiasan
seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Untuk keris Jawa ,
menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton
berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah
(blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian
gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya
terletak di tengah . Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu
pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).
- Wilah
Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan
dan tidak berpamor.
Wilah atau wilahan adalah
bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu
yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam
bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa
disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang
murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.
Pada pangkal wilahan
terdapat pesi , yang merupakan ujung bawah sebilah keris atau tangkai
keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini
panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm,
bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi,
di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan
Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar
keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah
semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi
(bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak
terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa
kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang
yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak,
bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu
meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit
ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul ,
kelap lintah dan sebit rontal.
Luk,
adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan dilihat dari bentuknya
keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang
bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada
bilah , dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi
cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka
bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal
( ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk
tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga belas (13). Jika ada keris yang jumlah
luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau
keris tidak lazim.
Pasikutan, Tangguh Keris, dan Perkembangan di Masa Kini
Yang dimaksud dengan pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti "bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan sebagainya. Kemampuan menengarai pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada panangguhan keris.Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa, langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai tangguh. Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu. "Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka, meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu, tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.
Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20 dipakai dalam ilmu padhuwungan.
Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah tangguh Buda (atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua dianggap berasal dari tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah masih di bawah pengaruh Kerajaan Galuh. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan Pakubuwana X (berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot, bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris yang bertahan.
Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T. Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh Sudiono Humardani, melalui perkumpulan Bawa Rasa Tosan Aji. Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (sekarang ISI Surakarta).
Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai keris kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Solo seperti KRT. Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT Hardjonagoro di Solo), Suparman Wignyosukadgo (Solo).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Keris
No comments :
Post a Comment